Seandainya aku jadi dokter - Nebula Toraja

Seandainya aku jadi dokter

Seandainya aku jadi dokter

 Aku ingin menjadi orang kaya!”
“Makanya aku ingin menjadi dokter!”

Suara itu sebetulnya yang dengan sangat keras bergema dalam kepalaku. Sesungguhnya aku tak ingin berbasa-basi menjawab bahwa aku memilih profesi ini karena aku ingin mengabdi kepada kehidupan. Mengobati mereka yang sakit. Menghindarkan mereka dari kematian. Tidak. Itu semua basa-basi saja. Hal-hal yang mungkin juga dikatakan oleh setiap orang dalam hatinya jika ditanya mengapa kau mau jadi dokter. Atau kalau tidak semua, setidaknya sebagian dari mereka.

Aku ingin menjadi dokter karena dikampungku dokter itu tidak mirip manusia. Ia lebih mirip malaikat. Ia dianggap wakil Tuhan di bumi. Kata-katanya dianggap kebenaran. Seorang dokter juga selalu kelihatan tampan katanya. Utamanya saat sudah memakai jas putih, seburuk apa pun tampangnya. Ayahku selalu bermimpi-mimpi bahwa suatu saat nanti harus ada salah seorang anaknya yang menjadi dokter. Ingin agar orang-orang di kampung bercerita “Oh dokter anaknya pak Amat itu! “ Dan aku pun terpilih. Tak perduli betapa pun bodohnya aku. Tak perduli orang-orang kampung itu akan berkata “Padahal dulu ia sering tinggal kelas bukan!” Toh banyak hal di dunia ini yang bisa kau dapatkan dengan mudah jika kau punya uang.

Tak susah amat ternyata masuk tempat ini. Dengan beberapa ratus juta rupiah saja untuk membayar joki yang entah kenapa begitu leluasanya berkeliaran. Dan namaku pun terpampang pada lembar pengumuman kelulusan. Yang menjadi joki ada juga kakak kelasku di kedokteran. Ada beberapa orang dari mereka yang didatangkan dari kota yang jauh. Praktek yang sangat rapi. Tak mungkin ketahuan janjinya. Mereka begitu licin tak terjangkau. Katanya tak mungkin ketahuan, sekali lagi. Mungkin praktek yang sudah lama terjadi disini dengan sembunyi-sembunyi. Menjual profesi ini dengan harga beberapa ratus juta rupiah. Entah berapa banyak orang sebelumku yang masuk dengan cara yang sama. Tidak peduli betapa pun bodohnya aku. Tidak perduli betapa kebodohanku itu bisa membunuh seseorang suatu saat nanti. Mungkin salah seorang dari anakmu atau juga anggota keluargamu.

Aku lalu mulai mengkalkulasi seluruh pengeluaranku masuk di tempat ini. Bagiku kuliah di tempat ini. Seperti menanam investasi. Seperti bermain valas. Kau harus berhitung kawanku. Menghitung dengan cermat berapa banyak uang yang sudah kau keluarkan. Kapan seluruh modal-modal itu akan kembali. Ya tinggal mengalikannya dengan jumlah pasien yang akan datang nanti, khayalku. Dan film-film, buku-buku yang berbicara tentang dokter yang baik hati. Selalu siap terbangun malam-malam untuk memberikan pertolongan. Bersedia memberikan pelayanan tanpa dibayar ketika pasien yang datang begitu miskin. Bersiap mengabdi ditempat-tempat dimana listrik, dan sinyal tidak ada atau jalan-jalan yang berantakan. Mmmh, nampaknya itu bukan aku. Aku tidak ingin menjadi dokter semacam itu. Dokter semacam itu sangat bodoh pikirku. 

Bagiku dokter adalah profesi yang lempang seperti kulihat pada banyak dokter-dokter lain di kampungku. Mereka kaya-kaya. Setiap saat bepergian, berplesiran ke tempat-tempat yang jauh . Walau untuk itu mereka harus selalu meresepkan obat-obat yang mahal, yang harganya bisa sepuluh kali lipat dari harga obat yang sama, yang katanya disebut “generik”. Tak perduli pasien yang datang janda sebelah rumah yang kerjanya cuma jadi babu keliling untuk mencuci atau tukang becak yang sering mangkal diujung gang sana. Mereka adalah pasien. Mereka harus membeli obat-obat itu. Obat-obat yang tidak bisa kau tebus separuhnya. Obat-obat yang harus dibuat laku, agar perusahaan farmasi itu tetap mau membayar ongkos pelesir, hotel juga limousin. Aku ingin menjadi dokter yang seperti itu.

Aku membayangkan beberapa tahun yang akan datang akan ada gelar dr. didepan namaku, toh orang orang tak akan perduli lagi betapa bodohnya aku dulu. Toh, mereka akan tersihir dengan gelar itu. Mungkin saja jika gelar itu ada, akan lebih mudah menaklukkan perempuan-perempuan dikampungku. Tidak hanya satu kalau bisa. Tak perduli bahwa aku tetap sebodoh dan seburuk dahulu. Dan ayah ibuku mungkin akan lalu lalang berkeliling kampung dengan wajah diangkat pagi dan sore, dengan dada dibusungkan, kepala agak sedikit mendongak. Agar orang tahu bahwa anaknya yang bodoh itu bisa juga jadi dokter.

Dan hipocrates, mungkin sumpahnya sudah harus diganti. Hari gini masih bicara tentang dokter yang melindungi hajat hidup setiap insani. Apakah itu masih penting? Toh yang paling penting adalah , aku bersekolah ditempat ini. Jadi dokter dan sekali lagi bisa menjadi kaya. Mungkin sudah saatnya hipocrates itu dan sumpahnya kita simpan saja di museum. Jadi artefak sejarah. Dikenang sebagai sebuah masa lalu yang lusuh. 

“ Jadi pak prof, saya anak pak amat dari kampung anu. Bapak saya juragan tomat. Kebun kami luas berhektar-hektar. Dan saya ingin jadi dokter karena............”

(.....coretan-coretan kecil untuk mengingat joki yang kedapatan pada SNMPTN lalu.....mudah2 an tidak terjadi lagi....Amin....)
by:
https://www.facebook.com/note.php?note_id=121491059140
Please write your comments