Jangan Malu Mengatakan Cinta.... - Nebula Toraja

Jangan Malu Mengatakan Cinta....

Jangan Malu Mengatakan Cinta....

Ada seorang kawan yang pernah bertanya pada saya, kenapa sih saya sangat eksplisit  menyatakan cinta dalam beberapa note yang saya posting di FB. Tentunya untuk putra-putra saya terkasih  dan juga istri tercinta. Bagi beberapa orang mungkin itu dianggap "lebay" dan berlebihan.

Saya sempat kaget juga ditanya hal seperti ini. Lalu saya berusaha mencari jawaban yang kira-kira tepat. Setidaknya ada dua jawaban yang saya siapkan atas pertanyaan diatas. Pertama, saya terus terang tidak cakap mengungkapkan rasa sayang dalam bahasa verbal. Saya pasti akan gagu ketika disuruh mengungkapkan betapa saya mencintai mereka dengan kata-katayang harus diucapkan secara lisan.

Mmmhh, saya pernah punya pengalaman buruk, dahulu di zaman saya agak muda, saya pernah menyukai seseorang. Saya berharap dia bisa mengerti bahwa saya menyukainya lewat bahasa tubuh dan segala macam perhatian, namun saya salah. Ia malah memilih orang lain karena saya tak pernah mengatakan rasa suka itu kepadanya. Hehehe. Perasaan sayang, cinta memang kadang harus diungkapkan agar orang bisa mengerti. Dan untuk satu hal ini saya sangat tidak ahli menyampaikannya dengan berkata-kata, makanya saya lebih suka menuliskannya.

Kedua, saya teringat sebuah kisah  dalam  buku "The Road to Allah", kang Jalal tentang kebaikan mengungkapkan cinta dan sayang kita pada seseorang.  Saya kutipkan kisahnya secara lengkap. Dalam kisah ini, diceritakan tentang seorang anak yang menderita seumur hidupnya karena ia mengira sang ayah tidak mencintainya. Suatu saat ketika ayahnya sekarat di rumah sakit, mengembuskan napasnya yang terakhir, sang anak  itu tetap tak mau datang juga karena menyangka ayahnya masih tak menyukainya. Lalu ibunya bercerita bahwa sebelum meninggal dunia, ayahnya mengatakan bahwa ia sangat mencintai dan bangga akan anaknya itu. Sang anak menjerit keras karena selama ini ia membenci ayahnya  karena dugaan bahwa ayahnya tidak mencintainya. Ternyata ia salah, sang ayah ternyata sungguh mencintainya walau tak pernah  mengungkapkannya secara langsung. Tragis.

Makanya saya merasa tak perlu malu-malu mengungkapkan kecintaan saya pada putra-putra saya juga istri saya tercinta karena saya tak ingin berakhir seperti sang bapak diatas. Saya ingin orang-orang yang saya sayangi itu tahu bahwa ayah dan juga suaminya tidaklah berhati batu, walaupun kadang-kadang sikap keras kepalanya lebih keras dari granit. Dicintai adalah sesuatu yang sangat penting seperti kata Tasaro dalam novelnya, Lelaki Penggenggam Hujan, seseorang belum menjadi sesuatu sebelum dia dicintai.

Dalam buku yang sama dimana saya mengutip cerita diatas, dikatakan bahwa untuk belajar mencintai Tuhan, kita harus melalui beberapa tingkatan. Dan tentang mencintai Tuhan, bukankah ia adalah puncak  tujuan keberagamaan kita. Tingkat yang paling elementer adalah belajar mencintai hal-hal yang konkret. Seperti keluarga. Anak, istri, saudara, kerabat,  ayah dan ibu lalu berlanjut pada sesama manusia.

Makanya menikah adalah elemen yang penting dalam islam, karena disana kita sesungguhnya diajar untuk belajar "mencintai" sesuatu yang terlihat. Tanpa bisa merasakan pengalaman ini, dalam perspektif sufistik, rasanya sangat  susah bisa mencintai Tuhan  yang bisa  dikatakan sebagai sebuah konsep yang sangat abstrak. Ia bukan sesuatu yang bisa diindrai oleh manusia.

Setelah itu kita harus belajar mencintai Rasul Allah, Muhammad, keluarganya dan juga sahabat-sahabatnya yang mulia.  Bahkan mungkin kecintaan kita padanya harus diletakkan pertama kali diatas kecintaan kita pada keluarga bahkan pada diri sendiri. Dalam sebuah hadist dikisahkan tentang seorang arab badui yang datang menghadap Rasullullah. Ia bertanya," Ya rasulullah, kapankah hari kiamat terjadi?". Nabi berkata, "Apa yang telah kamu siapkan untuk itu?". Badui itu menjawab, "Aku tidak mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, tetapi aku mencintai Allah dan rasul-Nya". Nabi berkata kepadanya, "Orang akan dihimpunkan dengan orang yang dicintainya". Badui itu pun sangat berbahagia mendengar jawaban sang nabi.

Atau seperti kisah Abu BakarAs Shiddiq yang menginfakkan seluruh hartanya di jalan fisabilillah, lalu saat Rasul bertanya, "Lalu apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?". Abu Bakar menjawab,"Cukuplah Allah dan Rasulnya yang aku tinggalkan untuk mereka". Jawaban singkat yang penuh dengan cinta. Atau mungkin yang paling fenomenal kisah Ali bin Abi Thalib saat peristiwah Hijrah. Ia bersedia mengorbankan diri, menggantikan sang rasul di peraduannya, sementara ia tahu diluar rumah para algojo kaum Qurays telah siap membunuh sang nabi dengan pedang terhunus ditangan. Ia tak gentar, dan itu adalah bukti cinta yang dahsyat dimana kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan.

Saya sepakat  bahwa mencintai Muhammad  adalah prasyarat  awal untuk berjalan menuju Allah. Bukankah manusia mulia ini yang mengajarkan kita mencintai Tuhan secara penuh dan ikhlas lewat segala amal dan perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan agama ini. Bukankah ia contoh paling sempurna dari makhluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan, rahmat bagi semesta alam. Lalu kenapa tidak kita secara eksplisit berani menyatakan cinta dan kerinduan kita kepadanya. Menyempatkan diri mengucapkan shalawat dan salam kepadanya lalu mengikutinya sunnahnya. Bagaimana bisa berharap mendapatkan syafaatnya jika sangat jarang  bersua, menjumpainya bahkan lewat shalawat. Kadang-kadang saya bingung juga dengan diri saya.

Waduh ceritanya jadi panjang. Yang terakhir mungkin pengingat untuk saya saja. Syukur-syukur saya tidak lupa. Mungkin untuk itulah saya merasa harus menuliskannya. Mudah-mudahan hati kita di bulan yang penuh berkah ini masih dipenuhi oleh cinta kepada Dia, kepada Rasul-Nya. Dan itu juga termanifestasi pada cinta kita pada keluarga dan sesama manusia.
BY:https://www.facebook.com/note.php?note_id=421065659140
Please write your comments