Kematian...Jadikah kau berkunjung ?... - Nebula Toraja

Kematian...Jadikah kau berkunjung ?...

Kematian...Jadikah kau berkunjung ?...

Kawan-kawanku yang mengerti agama atau sok mengerti, mengatakan bahwa penyakit ku adalah takdir. Ia adalah sesuatu yang tak mampu kaucegah. Sesuatu yang harus dijalani dengan ikhlas, katanya. Lalu mereka membacakan dua tiga potong ayat dari kitab suci yang paham pun aku tidak bisa. Dan pastinya terasa tak bisa meringankan sakit ku. Sebuah janji tentang surga yang jauh. Setelah itu mereka pergi, merasa bahwa semuanya telah selesai. Semuanya telah baik-baik saja. Mungkin mereka berpikir dengan itu semua, aku telah siap menyambut maut yang kian dekat menjelang.

Para dokter menjelaskan padaku bahwa penyakitku terjadi karena sel-sel tubuhku tak lagi mau berkawan dengan diriku. Mereka menjadi sesuatu yang asing. Mereka seperti tentara yunani yang bersembunyi dalam kuda troya dalam perang yunani dan sparta, menghancurkan troya, membunuh semua yang hidup disana pada saat semua lengah. Aku membayangkan tubuhku luluh lantak seperti sparta, yang tersisa hanya puing, bau daging terpanggang dan amis darah. 

Sel-sel itu telah berubah menjadi musuhku, lanjutnya. Bahkan ia mengajak setiap sel yang lain, juga ikut menghancurkan diriku. Sayangnya kedokteran modern baru sampai pada tahap melambatkan proses itu. Tak ada kata sembuh. Lalu seperti biasa, mereka akan berkata kita akan melakukan semua yang kita bisa, dengan kata-kata tegas dan yakin. Lalu menuliskan rencana kemoterapi di rekam medik ku. "Persiapkan hari ini"

Dokter itu betul-betul luar biasa menjelaskan segala hal yang aku pura-pura mendengar namun sangat sedikit yang bisa kupahami. Terutama saat dia terlalu sibuk berbicara hingga tak pernah memandang wajahku. Tak pernah menatap mataku. Menatap bahwa disana, kesedihan telah bergumpal dan hampir meleleh menjadi air mata. Atau mungkin tak pernah bisa mengerti rasa sakit yang berusaha dengan keras kutahan, walau kadang-kadang ia lebih kuat dari diriku. Mungkin dokter itu bahkan tidak pernah tahu warna mata ku. Mata yang dulu kubanggakan. Mata coklat muda, tidak seperti kebanyakan kaum ku. Mata ku lebih cerah. Tapi sudahlah itu tak penting lagi, mata itu itu tak lagi punya cahaya. Ia telah kehilangan kehidupan.

+++++

Dan para mahasiswa kedokteran itu. Pertama kali aku melihatnya. Aku begitu gembira, melihat tunas-tunas muda kehidupan . Mereka adalah calon pengabdi masa depan. Orang-orang seperti mereka lah yang nanti suatu saat akan mengobati dan menyembuhkan orang semacamku, itu harapku. Mereka lah yang akan memberikan "panacea" bagi orang-orang sepertiku yang mungkin diciptakan Tuhan pada saat Dia sedang tidak enak hati. Memberikan kesempatan melongok dunia sesaat. Memberi sakit yang tak bisa disembuhkan. Lalu mati. Dan cerita pun usai.

Namun nampaknya harapanku itu terlalu tinggi. Pada bocah-bocah itu tak kulihat sedikit pun mereka perduli dengan rasa sakit . Mereka hanya lalu lalang disekitarku. Datang mengunjungiku pada pagi dan petang, dengan wajah yang kutahu agak terpaksa. Membawa alat-alat kedokterannya. Mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan. Menanyakan satu dua patah pertanyaan dengan terburu-buru. Menuliskannya pada kolom-kolom. Seperti petugas retribusi yang dulu sering mendatangiku di pasar, bahkan ketika pembeli sangat sepi. Ada yang sama pada mereka. Senyum itu terasa sangat mahal. 

Tak pernah sekali pun kudengar mereka berkata “Selamat pagi bu?” atau “ Bagaimana tidurnya tadi malam?” atau petang setelah seluruh acara periksa memeriksa itu selesai mereka sejenak berhenti. Memandangku. Tersenyum dan berkata “Selamat malam bu, semoga ibu bisa bermimpi indah malam ini”. Ah, mungkin mereka menganggap itu basa-basi tidak perlu. Apalagi berharap sekali-sekali mereka datang ke bangsal ini. Mengambil kursi. Duduk diujung sana. Menemaniku sesaat menyambut malam yang selalu datang dengan menakutkan. Malam yang selalu datang dengan pertanyaan, "Jadikah malaikat maut bertandang ? " 

Aku cuma ingin menceritakan satu dua hal manis yang pernah terjadi dalam hidupku. Karena memang tak banyak hal yang luar biasa yang sempat terjadi. Mengenangnya. Membaginya agar dunia pun tahu ada saat dimana aku juga bisa tertawa. Aku tak berharap mereka datang menghiburku dengan lelucon-lelucon yang mungkin dpaksakan. Cuma berharap mereka mungkin sudi mendengarkan. Sejenak saja. Dan setelah itu mereka bisa kembali ke kamarnya terpaku didepan laptop dan menyapa kawan-kawanya di dunia maya. Mungkin sampai pagi menjelang. Menceritakan bahwa ada pasien yang menjengkelkan dan banyak menuntut sepertiku.

++++

Nampaknya memang rasa sakit adalah sebuah kesunyian yang cuma kita yang punya. Tak perlu terlalu melankolis berharap bahwa di tempat ini ada yang benar-benar hirau. Ah kau terlalu cengeng diriku. Mereka sudah berusaha menyembuhkanmu. Memberimu obat-obat terbaru. Pemeriksaan tercanggih yang dipunyai rumah sakit ini. Kalau kau tidak bisa sembuh. Mmmmhh.....mungkin itu yang kita sebut dengan takdir. Hehehehe. Tapi tunggu dulu! Bagaimana mereka mengembalikan sesuatu yang hilang dari diriku. Bagaimana mereka mengembalikan “harapan” yang dulu pernah aku punya? Sesuatu yang membuatku tetap bertahan. Dan perlahan-lahan itu hilang ditempat ini.

Aku lalu menatap jarum-jarum jam yang entah mengapa berdetak lebih keras malam ini. Tak ada lagi suara-suara. Cuma pikiran-pikiran yang masih gentayangan dalam kepalaku. Yang ada cuma kesunyian yang seperti belati menikam . Gelap kali ini pun terasa lebih tebal dari biasanya. Dari jauh kudengar cuma bunyi dengkuran pasien menembus dinding. Juga samar-samar bunyi gelembung oksigen. Dan tetesan cairan infus yang seolah tak lelah mengantar cairan kemoterapi ke setiap sel pada tubuhku. Aku memandang langit-langit yang semakin menjauh. Aku berdoa, mudah-mudahan..... malam ini kematian akan benar-benar datang menjemputku. Amin.

(coretan-coretan kecil untuk membunuh insomnia.... teringat seorang ibu yang menderita kanker saat koas di tingkat VI....Rest in Peace...)
Please write your comments