ANAK-ANAK - Nebula Toraja

ANAK-ANAK

ANAK-ANAK

Hari ini mungkin saya agak melankolis mengingat putra-putra saya tercinta. 3 kali sehari ini saya meneleponnya. Sekedar ingin tahu sedang bermain apa mereka, sekalian bernyanyi bersama-sama lewat telepon. Saya berusaha mengajarnya lagu naik-naik kepuncak gunung, eh malah si bungsu menirukan lagu kuburan band, lupa-lupa ingat. “ A....C minor....A....C minor”

Saya tertawa mendengar suaranya yang cadel bernyanyi. Lucu mendengar seorang bocah kecil yang belum genap dua tahun menirukan nyanyian orang dewasa. Sungguh anak-anak adalah peniru yang sangat jenius. Saya gembira namun pada saat yang sama, saya juga masygul. Saya merasa bahwa dunia kanak-kanak saya itu terancam. Ya, mereka terancam kehilangan dunia kecil mereka karena ulah orang dewasa seperti kita.

“Hampir tiap hari kita menyaksikan anak-anak yang dihilangkan. Orang-orang dewasa telah menguasai mereka. Di layar televisi mereka dibikin menyanyi seperti biduan komersial bernyanyi, berkotbah seperti kyai berkhotbah, bersaing seperti para pecundang dewasa bersaing.” Paragraf pembuka catatan pinggir dari Gunawan Muhammad diatasbetul-betul membuat saya begitu risau saat membacanya sore ini . Judul catatan itu, “Anak”. 

Banyak dari orang tua telah begitu buas merampas dunia ceria sang anak dengan mencetak mereka seperti diri para orang dewasa. Ada yang menganggap begitulah kemajuan, menganggapnya sesuatu yang modern. Seorang putri cilik yang tampil tanpa make up, stocking dan juga lipstik tebal seperti yang biasa dipakai ibunya, mungkin bagi beberapa orang dianggap betul-betul terkebelakang dan memalukan hari ini. Para orang tua itu pun tanpa malu-malu mengikutkan anaknya pada beragam kontes dengan tampang dan gaya seperti orang dewasa. Mereka bernyanyi, menari, memperagakan apa yang orang dewasa lakukan. Orang-orang tua itu berkilah itu untuk kebaikan sang anak dan mereka cuma mengikutinya. Tapi sungguh saya sangat tidak yakin. 

Di sekolah pun demikian. Saat saya ke Makassar dan singgah di MEU, saya terkesima dengan cerita salah seorang senior yang hendak mendaftarkan anaknya masuk SD. Sebuah SD yang dibelakangnya ada embel-embel kata “ terpadu”, katanya mengintegrasikan pengetahuan agama dengan dengan pengetahuan “konvensional”. Di sekolah itu kata kawan saya ini, syarat untuk masuk adalah sang anak harus pandai membaca karena ada ujian tulis, belum lagi dia harus punya akhlak yang bagus karena itu ia dan juga orang tuanya harus mengikuti wawancara. Semacam fit and proper test mungkin untuk melihat apakah sang anak layak menjadi murid disana.

Saya ngeri mendengarnya. Ngeri menyimak betapa sekolah bukan lagi tempat yang bisa membuat kanak-kanak itu ceria bahkan pada fase yang sangat elementer dalam hidup mereka. Mereka dipaksa untuk melepaskan musim semi keriangan dalam hidupnya dengan sesuatu yang sangat serius seperti harus pandai membaca, menulis dan punya akhlak yang bagus. Imajinasi mereka terlalu cepat dibunuh dengan harus bersegera paham dengan angka adan alfabet, dan menganggap mereka bodoh jika tidak paham kedua hal itu. Dan sekolah-sekolah itu, sungguh mirip pabrik material, cuma menerima barang dengan kualitas A untuk menghasilkan barang lain dengan kualitas B. Dan tentang akhlak, bukankah banyak orang dewasa yang juga belum selesai dengan persoalan ini.

Mmmh, yang saya bayangkan dari kehidupan kanak-kanak adalah bermain dan keceriaan. Kata seorang penyair perancis yang dikutip Gunawan Muhammad dalam catatannya diatas, “Hanya anak, bukan orang dewasa yang dapat menemukan keindahan yang muncul dari benda yang paling kecil, dalam sekuntum bunga, dalam sekerat batu, dalam kulit kayu atau sehelai daun” atau juga kata Tagore, “ ...karena hanya mereka yang bisa duduk di debu, bermain dengan ranting patah sepanjang pagi”. Anak-anak belajar dari apa yang mereka mainkan dengan penuh keriangan dalam kehidupan. Belajar dari alam semesta yang mereka diami dengan pertanyaan-pertanyaan yang kadang muskyl.

Karenanya saya tidak pusing amat saat bocah-bocah saya kecil itu, kata ibunya lewat telepon, sedang bermain-main pasir di pantai dengan anak-anak kampung, tidak pakai sandal lagi karena temannya tak ada yang memakainya. Atau suatu ketika, sang istri protes karena saya membelikan mereka setumpuk buku-buku besar penuh gambar binatang dan semacamnya dengan tulisan bahasa inggris. Gambar-gambar itu teramat indah. Toh, saya tidak berharap mereka harus cepat-cepat tahu membaca. Saya cuma ingin mereka belajar melihat bentuk, melihat warna. Terpukau dengan gambar kupu-kupu biru yang hinggap di sekuntum bunga. Atau tak pernah berhenti bertanya tentang gambar pesawat dengan rupa beraneka itu. Saya ingin imajinasi mereka tidak mati walaupun hidup dan tinggal disebuah pulau sunyi dan terpencil.

Dari Sumba saya tidak pernah berhenti berdoa mudah-mudahan mereka tak pernah berhenti merpertanyakan benda-benda disekitarnya seperti ketika mereka bertanya tentang gambar-gambar yang ada dalam buku-buku itu. Mudah-mudahan ibunya juga tak bosan memberi jawaban atas pertanyaan yang mungkin kerap berulang itu. Dan tentang lagu-lagu itu, terus terang saya tak pernah berhenti khawatir.
Please write your comments