KERINDUAN ANAK UNTUK AYAHNYA - Nebula Toraja

KERINDUAN ANAK UNTUK AYAHNYA

KERINDUAN ANAK UNTUK AYAHNYA

Seorang laki-laki tidak serta merta menjadi seorang ayah hanya karena dia suami dari seorang perempuan, dan perempuan itu melahirkan anak-anak untuknya.

Menjadi seorang ayah tidak cuma label yang dilekatkan pada seorang laki-laki dimana putra-putramu memanggil dengan sebutan itu, lalu dia tak pernah hadir. Kemarin saya menyadari itu, di sebuah sore.

Sebuah sore dan kali pertama mata saya berkaca-kaca hanya karena sebuah telpon. Di ujung sana si bungsu, fatih, 2 tahun 6 bulan dengan suara kanak-kanak yang begitu murni berteriak, “Ayah Jokooo! Ayah dimana?”. Seorang bocah dengan rindu kanak-kanaknya menyapa minta didongengi kisah tentang panda. Cerita rekaan yang tak pernah ada dalam buku, tentang panda besar dan kecil yang suka makan es krim coklat dan strawberry.

Mendengar suara itu entah kenapa rasanya mendung rindu yang selama ini bergayut dalam hati seketika pecah. Ada yang basah dalam jiwa, lebih mirip pilu, perasaan kehilangan yang begitu sangat. Ya, apa yang kuingat? Malam-malam tak yang banyak ketika dia bersama kakaknya tiduran di dada sambil diceritakan dongeng. Betul-betul dongeng karena sama sekali belum pernah dituliskan. Mudah-mudahan mereka tak ingat kalau ayahnya sesungguhnya adalah seorang pendongeng yang buruk.

Dia, juga kakaknya mungkin tak akan pernah usai untuk paham, apa sih yang kedua orang tuanya cari. Sang ayah jauh ditanah terpencil sumba seperti ini. Ibunya harus menghabiskan malam di rumah sakit, dengan para pasien. Mengobati, menjaga para orang sakit itu. Sementara mereka harus berusaha terlelap dalam pelukan boneka miki dan gajah. Cinta kah? Pengorbanankah? Lalu siapa sebenarnya yang sedang berkorban disini?

Sang ibu, dalam perbincangan kami yang sendu pada suatu ketika. Saat itu aku tahu ia sedang menahan rindu yang sangat pada kanak-kanaknya. Ia bertanya, “Apa sebenarnya yang sedang kita cari?”. Hidup yang lebih baik. Dengan mimpi segala hal akan sempurna di masa depan.
Paradoks yang sama sempurnanya. Demi mereka hidup seperti tak punya jangkar untuk menautkan diri, tak ada dermaga untuk melabuhkan perjalanan dari seluruh kepenatan karena mereka tak ada di sekitaran. Kita malah seperti hidup dalam ruang yang semakin lama semakin hampa. Udara ada, namun ia seperti selalu kekurangan oksigen, karena mereka, malaikat-malaikat kecil itu berada jauh dari jangkauan. Ingatan tentang itu rasanya teramat menyesakkan. Membuat aku, kau dan kita asfiksia setiap saat.

Aku tahu, dukamu isteriku bukanlah karena hendak mengutuk hidup. Setiap hal terjadi tidak pernah dengan kebetulan. Segala sesuatu bergerak karena ia punya tujuan. Dan aku sungguh percaya akan itu. Demikian pula dengan kita, dengan mereka. Pertanyaannmu dengan gulana sore itu mungkin ingin sejenak melepas beban rindu yang sudah menggunung pada mereka yang telah dititipkan Tuhan untuk dijaga tidak hanya dengan raga, namun juga dengan jiwa dan hidup kita.

Lalu, haruskah kita mundur dan beranjak? Pertanyaan itu pun pernah menggangguku. Tapi inginkah kita bocah-bocah kecil itu mengingat orang tuanya sebagai sepasang pecundang yang melarikan diri setelah seluruh perjalanan ini. Bukan kita yang berkorban, tapi mereka. Merekalah yang telah mengorbankan dirinya, mengorbankan haknya bersama orang tuanya. Mengorbankan musim semi keemasan dalam hidupnya, tinggal dan hidup berjauh-jauhan, hanya berjumpa dengan ayah ibunya beberapa menit lewat suara di telepon. Menyakitkan memang. Tapi jika mereka setelah sekian lama bisa berkuat, lalu apa alasan kita untuk menyerah.

Pada pagi yang semakin beranjak ini, aku mengingatmu putra-putra kecilku. Mengingat ibumu juga. Katanya ini “hari ayah”, “father’s day”, tapi nampaknya bukan hari yang ingin kurayakan. Sudahkah aku sungguh menjadi ayah yang baik untukmu? Aku masih berharap kalian selalu mengajariku untuk itu.

Menjadi ayah dalam kepalaku saat ini cuma mendongengi kalian saat hendak tidur, memandikan kalian di pagi hari, menyuapi kalian, tidak marah saat kopi yang baru saja kubikin pagi itu baru seteguk eh sudah habis karena ada kurcaci kecil yang mondar-mandir meneguknya, lalu mengantar kalian ke playgroup dengan tas punggung biru kuning mungilmu. Oh ya, fatih selalu mau lewat jalan dimana ia berharap-harap cemas akan menemukan VW kodok coklat terparkir, dan dia akan menatapnya dengan kagum, “Mobil kodoknya dedek fatih!”

Lalu sore hari kita ke danau UNHAS, melihat matahari senja terpantul di air, dari belakang rumah sakit Wahidin tempat ibumu berjaga. Kalian berlarian dengan riang, kita pulang ketika semua benda telah berubah dari jingga menjadi redup, menjadi siluet. Dari sana menjemputmu ibumu di depan UGD, kita singgah di warnet, kalian ingin melihat gambar-gambar. Dari pesawat, buldozer, singa hingga jerapah, berteriak takjub saat google menampilkan gambar-gambar itu, tak perduli semua orang dalam ruangan itu menoleh pada kita.

Apa lagi ya? Mengapa tak banyak kenangan tentang menjadi “ayah” yang kuingat. Aku berusaha menyusuri seluruh girus otakku, kali-kali saja ada satu dua kenangan yang mengendap disana tanpa kutahu. Membongkar seluruh ingatanku tentang kalian, tentang kita. Maafkanlah laki-laki ini jika akhirnya harus kalian panggil ayah dan ternyata begitu sedikit waktu yang kita lewati bersama. Aku mencintaimu seperti bumi yang tak akan pernah lelah menopang kehidupan. Jika pun aku, ibumu jauh percayalah bahwa kasih kami serupa oksigen, tak akan kau lihat, tapi dia selalu ada di sekitaran, menghubungkanmu dengan kehidupan. Terima kasih telah mengajar kami dengan baik.

(Untuk anakku, yubi dan fatih di Bintaro sana, selamat merayakan hari-harimu. Berdoa kita bisa bersua segera)
Please write your comments