Iman, Demokrasi dan Kekerasan... - Nebula Toraja

Iman, Demokrasi dan Kekerasan...

Iman, Demokrasi dan Kekerasan...

Tadi malam saya memberi komentar terhadap sebuah artikel di kompasiana yang terus-menerus menghujat demokrasi dan HAM. Kata saya, seburuk-buruknya demokrasi dan HAM, ia masih lebih baik dari teokrasi dimana tak ada orang yang boleh lagi bertanya, berbicara karena “kebenaran” dianggap sudah final. Orang tinggal perlu hidup seperti pemain teater yang berbicara, berpakaian dan bahkan ke toilet, melakukannya hanya seperti menjalankan skenario. Tak boleh ada yang mempertanyakan tata tertib, menodai kemurnian ajaran jika tidak ingin di cap sesat. Tapi teater, bahkan ia pun pada titik tertentu butuh improvisasi.

Saat memberi komentar, ingatan saya terbang pada sebuah novel bagus yang bercerita tentang sebuah zaman yang penuh air mata bagi perempuan-perempuan Afghanistan. “A thousand Splendid Sun”. Orang mungkin berkata ini kan cuma fiksi, tapi kita tahu sebuah karya sastra tidaklah lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari rahim sejarah dimana begitu banyak anasir bergulat disana. Novel ini mungkin bagi beberapa orang akan terasa menyebalkan karena sesungguhnya ia sedang mencoba mempertanyakan, berhadap-hadapan, menggugat keras sebuah system hidup yang dianggap telah final, karena kata mereka itu disusun dari Sabda Tuhan.

Tapi saya secara pribadi melihat apa yang terjadi di Afghanistan, oleh para kaum taliban dalam kisah novel ini adalah sebuah tafsir yang lain terhadap ajaran agama, dalam hal ini islam. Saya tak yakin bahwa apa yang dilakukan rezim itu dengan memberangus seluruh hak-hak dasar perempuan disepakati oleh semua orang sebagai satu-satunya cara tafsir yang sah atas agama ini. Saya mungkin salah satu orang yang sungguh tidak sepakat dengan itu.

Banyak dari kita yang terus menerus menempatkan diri pada perspektif korban saat berhadap-hadapan dengan isyu demokrasi dan HAM. Mempersalahkan keduanya sebagai buah busuk peradaban yang membuat kita selalu berada di pinggiran. Selalu merasa diperlakukan tidak adil. HAM dan Demokrasi buruk bagi kita karena kita berada di pinggiran, coba seandainya kita yang memegang kuasa. Dan bagi saya, dalam perspektif korban semua ketidakadilan punya derajat yang sama.

Kekerasan yang dirasakan oleh kaum palestina atas kekejaman tentara zionis Israel memang sungguh biadab. Dan bagi saya derajatnya tak ada beda dengan kekerasan yang pernah dialami orang-orang Aceh misalnya pada jaman OPK GAM, atau kekerasan yang dialami oleh para eks PKI yang bisa dibunuh begitu saja hanya dengan memberi mereka cap. Bahkan derajat ketidakadilannya mungkin sama dengan yang dialami oleh kaum minoritas lain yang berjuang mempertahankan keyakinannya yang bahkan negara pun tak mampu melindunginya. Semacam Ahmadiyah misalnya. Mereka semua korban.

Terlepas dari pro kontra ajarannya yang dianggap sesat, Ahmadiyah, saya kira tak ada manusia yang punya hak menjadi wakil Tuhan, seperti yang pernah diperankan oleh para inquisitor katolik abad pertengahan yang memburu kaum yang berbeda keyakinan dan membakarnya hidup-hidup di api unggun. Menegakkan iman dengan darah, pedang dan peluru di sebuah negeri yang punya hukum dan juga polisi. 

Tak ada pembenaran bagi orang yang datang dengan kalap membawa kelewang dan batu juga jubah dan serban kemudian mengusir orang dari rumahnya. Kanak-kanak yang ketakutan. Ibu-ibu yang tersedu karena rumahnya dibakar oleh orang-orang yang atas nama “iman yang benar” dan merasa punya hak untuk itu, bukankah mereka menjadi korban pada saat yang sama. Tapi ikhlaskah kita memberi kesempatan bagi mereka juga bertanya tentang keadilan?

Iman memang soal yang aneh kata saya pada sebuah kawan. Lihat saja orang yang telah ditindas sedemikian rupa, apakah iman mereka berkurang atau hilang. Saya kira tidak, bahkan ada yang lebih kuat dari sebelumnya karena apa yang mereka alami dianggap sebuah “ujian” iman. 

Demokrasi, memang kadang cuma seperti kelimunan massa. Suara-suara orang yang riuh. Demokrasi tidak selalu berhenti pada ide-ide yang luar biasa, tapi setidaknya ia masih memberikan harapan bahwa orang masih boleh bersuara. Menyuarakan ketidaksukaannya diperlakukan tidak setara dan tidak adil. Dan tentang demokrasi dan Iman, sungguhkah mereka selalu berada pada front yang berseberangan?BY:https://www.facebook.com/note.php?note_id=418003974140
Please write your comments